U M A R | U Z A I R

dan kisah-kisah dari kerlingan matanya

Selejang Terbang (0)

Wednesday, February 29, 2012 by , under

Kelmarin aku pertama kali diundang ke pejabat rasmi KEMALA yang diam sebagai Pensyarah Tamu untuk Fakulti Bahasa Moden dan Komunikasi UPM. Di hujung pertemuan, Dato' dan aku saling menukar hadiah. Aku kasikan seunit 'Yang Aku Mahu', sewaktu dia turunkan tandantangan buat aku ke atas naskah Landskap Ungu : Kumpulan Esei Kemala, yang tebal dan bangga dibimbing aku sewaktu duduk bersenggang dari  Pavi ke KLCC, petang selepasnya.

Semalam dia kirimkan sesuatu di lamannya. Sebuah esei tulisan Sasterawan Negara ke 11 Dato' Dr Ahmad Kamal Abdullah tentang penulis dan penulisan gaya baharu ini begitu melirih hati aku. Bersenanglah membacanya.

MENYIRAT CINTA HAQIQI (INSANDI 2012) - KEMALA

Buku Menyirat Cinta Haqiqi kita beroleh penghayatan penyair yang dipayungi oleh makna islamiyah yang berakarkan al-Qur’an dan alhadis, kita dapat membaca karya Hasyuda Abadi “Dalam Kun”, dan “Ayat Kepada Kalbu” secara tertib “dalam titir kalimah alif lam mim lautan rahasia, engkau ya ‘Alim,” katanya dalam “Dalam Kun”, dan menyambung “dia tak sanggup mendongak, apalagi melihat kerana ain kalbu telah meng-erat dalam kun milik-Mu”. Dengan puitis dan religious Hasyuda menyerapkan “Ombak mencintai badai tanpa luka, hayati ayat-ayat yang terdamparwarna suara yang berderai, tapi tak pernah pisah, bersahutan dengan satu.” Hasyuda menitirkan lagu yang mahir, akibat dia mula sampai kepada kearifan penyair Islami, “tulislah sebarang kata tentang tabah dan keluhuran, bagai butiran pasir yang bersatu menyambut salam dan setia mendengar deklamasi bayu, muzika sukmanya.” Wah, alangkah nikmat metafora ini “bagai butiran pasir yang bersatu menyambut salam dan setia mendengar deklmasi bayu, muzika sukmanya..”

Kecenderungan Djohar Buang yang seolah membuai rasa dengan bait-bait yang liris tak mengurangkan rasa indah walaupun kita mesti berteka-teki. Mistisisme memahg menyodorkan bukan mudah meraih
Makna di permukaan sebelum sudi dengan tekun masuk ke dalam inti-maknanya. Inilah yang diperteguhnya dalam bait akhir “Masjid Taqwa”: “Khalifah Umar al-Khattab yang membuka semua jendela dan pintu pejabat di pengkalan teduhan pohon khurma seperti terbukanya padang pasir nan luas, seruan Allah dapat disebarkan ke mana.”

Kita masih tetap asyik mendengarkan suara provokatif Dimas Arika Miharja dalam “Buah Si Malakama Itu..” yang tiba-tiba hadir menduga-duga tempatnya di lapangan yang seolah sudah mapan, namun kehadirannya bagai membawa sesuatu masalah. Tapi niat yang jelas belum tentu dapat diterima seperti gap generasi yang selalu menghantui the establishment: warna yang lain, cara berfikir yang lain dan kerinduan yang lain. Sebelum terbuka masalah seperti Euripedes yang melaung “Eureka!”, maka bertenang-tenang saja mempelajarinya, kata sang guru di muka kelas bimbingan kreatifnya, Guru Dimas “Buah Simalakama itu, cintaku, makanlah/saat puncak gelisah: kunyah hingga sepah/lalu muntahkan bagai intan berkilauan..” indah bukan? Sekurang-kurangnya dia tak menolak bata-bata, tetapi dengan kearifan baru menyatakan dengan tertib duduk masalah yang baru itu.

Dalam dua tiga tahun terakhir kita dihadirkan bakat besar yang ada pada Siti Zainon Ismail, Zaiton ajmain, Sastri Bakry, Ramayani, Rosmiaty Shaari, D. Kemalawati, Gendis Rara Danarek, Dewi Nova, Hasimah Harun, Zubaidah Djohar, dan bakat yang berpotensi seperti Emmy Marthala, Nining Nur Hidayati, Citranalis, Siti Fatimah, Siti Atiqah, Ismi’ Nailofar dan Ilya Kablam. Baca saja “Qasidah Bawang Putih”, “Selamat Pagi Kejora” dan “Aku BelumTumpas” kita seolah merasa kita tak akan risau bahwa dunia puisi Numera akan kekontangan atau takpunya pelapis (?) seperti yang dirusuhkan oleh suara-suara beku yang lain. Dari pengalaman saya menyusun dan mengedit Musibah Gempa Padang (2009), Meditasi Dampak 70 (2010) dan Menyirat Cinta Haqiqi (2011) pergabungan bakat sasterawati Numera kian menarik. Suara merdu dan impak kepuitisan puisi mereka memperlihatkan sahsiah wanita yang tinggi. Daya penghayatan dan sublimasi sudah timbul dan tidak kalah dengan suara beberapa penyair pria Numera seperti Rosli Marzuki Saria, L.K. Ara, Dimas Arika Miharja, Arbak Othman, Ahmir, Uyut Fitria, Iwan Soekry, Darma Mohamad, Shamsuddin Othman, Djazlam Zainal, Irwan Abu Bakar, Abdul Halim Ali, Badrul Munir Chair, Puzi Hadi, Malim Ghozali Pk, Isbedy Setiawan ZS, Viddy AD Daery, Anbakri, Muhammad Subhan, Brirasa, Nimoiz T.Y., dll. Jika tumbuh bakat yang berpotensi di kalangan penyair numera yang baru kita melihat suara yang jernih dari S. Iqram Katungau, Umar Uzair, Hazwan Ariff Hakimi, F. Rizal Alief, A.Amril,Fazwan Hanapi dll.

Siti Zainon Ismail merekam sesuatu yang unik waktu wuquf di Arafah “Kenapa wajah Nikha kau bawa menerpa/tersenyum di halaman surah kubaca/di telapak tangan yang berdoa/bibirnya berkata “berdoalah sayangku/aku ada di hatimu”, atau dengan lebihsadar lagi Zaiton mengungkap “kita rasa kita raja kuasa” dan diakui oleh Sastri Bakry “Kenapa di bumiku gunung-gunung hancur dan dihancurkan/tak siapa yang peduli/tidak juga kau Tuan Presiden”, Sastri menambah “Jika-kalau bersatu dalam semua/kakiku mesti di mana”. Masalah yang kusut, mudah bagi Rosmiaty dalam kehalusan renungnya berkata,”kau panggil ketitir atau bayan dari raudhah/mengepakkan sayap menitirkan zikir/berpendar antara qasidah bawang manis” manakala D. Kemalawati dengan riak secara sinis mengungkap:

Biarkan

Hujan basuh debu
angin kayuh beku
dingin asuh kalbu
lelah bunuh nafsu
leleh lepuh waktu
biarkan menjadi abu

(MCH 2012:122)



| edit post

0 Reply to "Selejang Terbang"